Akhir KDRT dengan Perceraian
Benar ga sih bahwa KDRT banyak yang diselesaikan dengan perceraian? Apakah perceraian berkorelasi dengan KDRT?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari menengok fakta perceraian pada beberapa selebriti di tanah air pada 2022. Berhubung merupakan public figure dan berita terpublikasi di banyak media, catatan ini menyertakan nama-nama selebritis tersebut.
Satu dari sederet pasangan artis yang bercerai sepanjang 2022 adalah pasangan Seruni Purnamasari dan Ronal Surapradja. Melalui kuasa hukumnya, Seruni mengungkap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dia sempat mengalami depresi hingga membutuhkan bantuan psikolog. Kuasa hukum bahkan mengantongi bukti kekerasan yang dilakukan Ronal. Tidak saja kekerasan psikis tapi juga kekerasan lain.
Dalam kasus ini Ronal yang mengajukan gugatan perceraian, berdalih lantaran Seruni dianggap tak hormat kepada orang tua. Ronal juga menuduh Seruni mempersulit dirinya bertemu dengan buah hati mereka. 14 tahun perkawinan mereka berakhir pada 12 Oktober 2022 setelah majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan permohonan cerai talak Ronal Surapradja.
Hal serupa juga terjadi pada pasangan Jonathan Frizzy dan Dhena Devanka. Keduanya secara terang-terangan saling melaporkan kasus KDRT yang dialami selama menjadi pasangan suami istri.
Perceraian Meningkat
Menurut data Badan Peradilan Agama (Badilag) angka perceraian sepanjang tahun 2021 meningkat 54% dibandingkan tahun 2020. Sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi di tahun 2021. Separuh lebih, yakni 279.205 perceraian terjadi karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus.
Tahun 2017, Pengadilan Agama menetapkan kategorisasi penyebab perceraian secara lebih spesifik termasuk kategori kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan. Antara lain meninggalkan salah satu pihak, poligami, kawin paksa, perselisihan dan pertengkaran, KDRT.
Baca Juga:Â Melakukan KDRT tapi Tidak Dipidana
Terkait KDRT, Komnas Perempuan dalam Catahu 2022 menyatakan sejumlah catatan. Pertama, penerapan peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya efektif. Sepanjang 2021, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) digunakan sebanyak 96 kali. Ini dipengaruhi pemahaman dan pengalaman aparat penegak hukum (APH) yang masih cenderung mendiskriminasi perempuan.
Dengan kata lain, ini menunjukkan penyelesaian KDRT melalui jalur pidana jauh lebih sedikit dibandingkan jalur perdata.
Adapun rujukan pasal yang digunakan antara lain Pasal 45 tentang bentuk kekerasan psikis. Pasal ini yang paling banyak diadukan ke lembaga layanan. Menyusul kemudian Pasal 46 dan 47 yang berkaitan dengan kekerasan seksual menjadi rujukan terbanyak kedua. Meski begitu, umumnya perempuan korban KDRT mengalami kekerasan berlapis.
Catatan kedua, adanya hambatan dalam implementasi UU PKDRT merujuk pengalaman lembaga layanan yang meliputi 3 hal. Yaitu status perkawinan korban (kawin tidak tercatat), korban mencabut pengaduan/pelaporan, kurangnya alat bukti dan perspektif APH.
Jumlah Kasus KDRT
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa setiap tahun pelaporan kasus KDRT mengalami peningkatan. Tahun 2021 Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung sebanyak 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) atau 31% dari laporan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dari pengaduan dan pemantauan Komnas Perempuan, korban KDRT mengalami dampak beragam dan berlapis mulai dari luka fisik, trauma dan depresi, disabilitas, hingga kehilangan nyawa.
Baca Juga:Â Melaporkan KDRT
Namun, tingginya angka kasus KDRT di Indonesia sering berujung di pengadilan agama. Menyikapi ini, ada dua hal yang menjadi pandangan Komnas Perempuan. Pertama, penguatan korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan. Pelaporan merupakan gerbang pertama bagi korban KDRT untuk mendapatkan perlindungan, keadilan, dan pemulihan. Tak jarang istri enggan melaporkan kasusnya yang menimpanya dengan beragam pertimbangan. Demi menjaga nama baik keluarga, keutuhan keluarga, bahkan masa depan anak-anak. Pertimbangan lain berupa ketergantungan baik emosi, sosial, maupun ekonomi.
Kedua, penguatan dari segi penanganan. Ini mencakup kapasitas SDM dan fasilitas lembaga layanan. Prioritas kebutuhan korban adalah pendampingan hukum dan layanan konseling. Demikian pula dalam hal komposisi SDM berdasar gender perlu menjadi perhatian serius. Sebab, sinergi kerjasama antara SDM perempuan dan laki-laki merupakan daya dukung optimal bagi korban. [Nur Azizah]
Â
Â
Â