10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian II)

 10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian II)

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Pengantar

Dalam Bagian I tulisan ini, diuraikan 3 hal yang menjadi landasan pemikiran urgensi menghadirkan ratifikasi Konvensi ILO 189. Yaitu, 1) Kekerasan terhadap PRT: Kenyataan yang harus Diakhir. 2) Menggenapkan Kehadiran Instrumen HAM yang Melindungi PRT. 3) Meneguhkan Relasi Kerja Berbasis Hak.

Ikuti uraiannya dalam “10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian I)”

**

4. Perlindungan PRT dalam Konvensi ILO 189

Apa saja sih perlindungan bagi PRT dalam Konvensi ILO 189? Menurut Tiasri, Konvensi ILO 189 antara lain mengatur jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PRT. Dengan kata lain, seseorang dikategorikan sebagai PRT apabila melakukan jenis-jenis pekerjaan tersebut.

Rumusan ini juga menjadi rujukan dalam penyusunan draf RUU Perlindungan PRT. Artinya, siapapun yang melakukan jenis pekerjaan yang terkategori sebagai PRT, ia berhak mendapatkan pengakuan dan perlindungan sebagai pekerja.

Selain itu, Konvensi ini juga menegaskan penyebutan PRT sebagai pekerja. Catat! Pekerja, ya! Bukan pembantu atau sebutan lainnya. Demikian pula sebutan pemberi kerja, bukan dengan istilah majikan. Hal ini sekaligus menunjukkan adanya relasi kerja antara PRT dengan pemberi kerja.

Ditambahkan Rainy (17/06/2021), Konvensi ILO 189 mengatur hak fundamental pekerja yaitu antara lain hak dasar pekerja rumah tangga, informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja, jam kerja (istirahat, lembur, cuti), pengupahan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan jaminan sosial.

Selain itu, Konvensi ILO 189 juga mengatur standar usia PRT anak. Dengan demikian, Konvensi ILO 189 menjamin relasi PRT dan pemberi kerja sebagai relasi berbasis hak.

5. Upaya Pemerintah dalam Perlindungan PRT

Liliek Setyarini, Koordinator Kelembagaan dan Penempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan menyampaikan (17/06/2021), Pemerintah concern dengan perlindungan PRT sebagai warga negara. Oleh karena itu, dalam rangka perlindungan PRT, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Selain itu, juga telah terbit revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Penempatan Tenaga Kerja yang memasukkan substansi terkait PRT di dalamnya.

Adapun sebagai pelaksanaan dari UU Cipta Kerja, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2021 yang mengatur antara lain terkait perijinan lembaga penyalur PRT. “(Yaitu) yang harus dilakukan pelaku usaha dalam perlindungan PRT,” ungkap Liliek.

Berbagai peraturan tersebut diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum sementara Konvensi ILO 189 belum diratifikasi oleh Indonesia. Misalnya tentang informasi syarat ketentuan kerja, yang diatur dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015. Selain itu, Pasal 5 dan 6 juga mengatur tentang hak PRT untuk memperoleh informasi terkait dengan pemberi kerja, jenis pekerjaan, dan hak bagi PRT. Adapun kontrak kerja diwajibkan apabila PRT bekerja melalui agen/penyalur.

Peraturan tersebut juga mengatur mengenai jam kerja bagi PRT dalam Pasal 7 dan Pasal 11 meskipun tidak rinci. Namun, terdapat ketentuan yang mengatur waktu libur 1 hari dalam seminggu. Sayangnya, belum semua pemberi kerja memberlakukan hal itu, termasuk peraturan jam istirahat serta cuti.

Sebagaimana disampaikan oleh Nurkhasanah, aktivis JALA PRT (17/06/2021), sekalipun Peraturan Menteri tersebut telah mengatur, namun ketika terjadi pelanggaran hak tidak ada kekuatan bagi PRT untuk menuntut. Hal ini disebabkan Peraturan Menteri tersebut tidak mewajibkan perjanjian kerja tertulis. Oleh karena itu, menurut Nur, manfaat dari Peraturan Menteri tersebut masih belum dirasakan sejak  diterbitkan.

Selain itu, masih terdapat materi yang belum diatur dalam Peraturan Menteri. “Dalam Permenaker, kita belum mengatur kewajiban dan hak pemberi kerja,” Liliek menambahkan. Hal lain yang juga belum diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan adalah mengenai UMP dan UMR bagi PRT.

***

Berbagai data dan fakta kerentanan yang dialami PRT selama bekerja dan kekosongan hukum yang terjadi dalam perlindungan PRT bermuara pada seruan untuk meratifikasi Konvensi ILO 189. Di saat yang sama, RUU Perlindungan PRT juga diharapkan dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah.

Dorongan untuk ratifikasi Konvensi ILO 189 dan pembahasan RUU Perlindungan PRT adalah untuk menjamin hak PRT atas keadilan serta aman dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Hak-hak tersebut adalah hak warganegara yang pada prinsipnya sudah dijamin dalam Konstitusi dan dalam berbagai instrumen hukum Internasional. [Editor: MUK/Reporter: LW]

Digiqole ad